Tuesday, March 14, 2006

 

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEPENDENSI KPUD
DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG:
STUDI KASUS KPUD KOTA DEPOK


Teguh Kurniawan & Defny
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI

Abstrak
Independensi KPUD sebagai penyelenggara yang mandiri dalam pemilihan Kepala Daerah secara langsung memunculkan sejumlah pertanyaan terkait dengan ketiadaan definisi “publik” sebagai pihak yang harus diberikan laporan pertanggungjawaban selain karena adanya kebutuhan interaksi antara KPUD dengan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan pilkadasung tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi independensi KPUD dalam pelaksanaan pilkadasung dengan mengambil kasus penyelenggaraan pilkadasung di Kota Depok yang telah berjalan pada 26 Juni 2005 yang lalu.

Pendahuluan
Permasalahan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung (pilkadasung) merupakan fenomena yang saat ini menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai Pemerintahan Daerah, khususnya terkait dengan sejumlah masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pilkadasung di sejumlah Daerah. Dari sisi aturan, penyelenggaraan pilkadasung mengacu pada Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005. Berdasarkan kedua aturan tersebut, secara substansi pilkadasung memang senapas dengan pemilu tetapi tidak secara formal. Kondisi ini berimplikasi pada berubahnya status Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dari yang merupakan bagian integral KPU selaku penyelenggara pemilu secara Nasional di Daerah menjadi elemen terpisah dengan kewenangan lebih mandiri menurut daerahnya masing-masing tanpa campur tangan dan dominasi KPU kecuali sebatas pengarahan darinya.

Fenomena di atas menjadikan upaya pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat mulai dipertanyakan, terutama setelah judicial review oleh Mahkamah Konstitusi yang menekankan bahwa KPUD hanya mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada publik dengan ketiadaan pendefinisian istilah “publik” secara detail[1]. Ketiadaan definisi secara detail ini jelas menyeret KPUD dalam kondisi membingungkan mengenai kepada siapa ia harus bertanggung jawab[2].

Ketiadaan KPUD untuk bertanggung jawab kepada DPRD sebenarnya lebih menjamin independensi KPUD dalam mengambil keputusan dan bertindak. Namun, ketiadaan definisi “publik” secara detail ditambah dengan ketiadaan pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD berpotensi menimbulkan masalah baru. Dalam ranah hukum, pengertian bertanggung jawab kepada “publik” sebenarnya dapat dipahami menurut konteks hubungan KPUD dengan pihak lain, misalnya, urusan pidana kepada pihak kepolisian, urusan keuangan kepada lembaga auditor keuangan, semisal BPK, atau KPK, dsb. Pun demikian, peluang berkurangnya derajat independensi KPUD tetap besar mengingat ia tetap berinteraksi dengan Pemerintah Pusat dan Daerah melalui politik anggaran (APBN dan APBD) pelaksanaan pilkadasung[3], juga hak pemerintah untuk mengatur, mengevaluasi, dan memberi masukan atas pelaksanaan pilkadasung, tidak sekadar membuat regulasi. Dengan demikian, independensi KPUD makin dipertanyakan seiring masih eksisnya fenomena ini.

Beranjak dari latar belakang seputar penyelenggaraan pilkadasung tersebut, terdapat satu pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam tulisan ini, yaitu bagaimanakah keberlakuan independensi KPUD Kota Depok serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam menyelenggarakan pilkadasung yang telah diselenggarakan pada 26 Juni 2005 yang lalu menurut batasan hubungan dan interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam pilkadasung Kota Depok dalam hal ini Sekretariat KPUD, PPK, PPS, KPPS, Pemerintah Daerah, DPRD, Panwasda, para pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota beserta tim kampanye dari partai politik pengusung masing-masing calon, lembaga pemantau, elemen-elemen masyarakat yang berkepentingan dengan pilkadasung (interest group), KPU, Desk Pilkada, Pemerintah Pusat, pers, lembaga peradilan, dan masyarakat Kota Depok pada umumnya selama proses penyelenggaraan pilkadasung tersebut?

Pendekatan yang digunakan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan adalah pendekatan kualitatif dengan fokus perhatian terletak pada proses penyelenggaraan pilkadasung Kota Depok tahun 2005 yang diselenggarakan KPUD Kota Depok, tahap demi tahap, tanpa kemudian mempermasalahkan pasangan calon walikota dan wakil walikota mana yang terpilih secara sah dan dilantik sebagai walikota dan wakil walikota Depok untuk masa jabatan 2005-2010. Melalui pendekatan ini dilakukan pengumpulan data dan informasi dengan datang langsung ke Kantor Sekretariat KPUD Kota Depok dan lokasi kampanye sebagai complete participant kemudian mengamati serta merekam perilaku ketua dan anggota KPUD Kota Depok; pegawai sekretariat KPUD; serta pihak-pihak terkait dalam penyelenggaraan pilkadasung itu, dalam kondisi alamiahnya, bukan eksperimental atau artifisial. Selain itu dilakukan pula penelusuran terhadap sejumlah literatur dan penghimpunan teori yang lebih merupakan aktivitas persiapan dalam proses pengumpulan data sehingga akan membantu dalam memahami konsep yang bersinggungan dengan tema penulisan, mengantisipasi setiap kemungkinan kesalahan, menguatkan metode pengumpulan data, serta membantu dalam teknik mengatasi masalah

Hal yang dilakukan disamping membuat catatan lapangan hasil observasi adalah dengan melaksanakan wawancara tak terstruktur, baik bersifat formal maupun informal, dengan sejumlah anggota, termasuk ketua, KPUD Kota Depok serta pegawai sekretariatnya. Wawancara terstruktur dan bersifat formal dilakukan terhadap perwakilan tim kampanye pasangan calon walikota dan wakil walikota nomor urut 3 dan 5.

Penyelenggaraan Kegiatan Pemilihan dan Independensi Lembaga Penyelenggaranya
Berkenaan dengan fungsi kontrol warga negara terhadap lembaga penyelenggara pemerintahan, penyelenggaraan kegiatan pemilihan, baik pemilihan umum maupun kepala eksekutif di tingkat lokal, tidak hanya menjadi sarana warga negara (publik) untuk melaksanakan partisipasinya dengan jalan menyalurkan suaranya tetapi juga memungkinkan mereka melaksanakan kontrol terhadap lembaga otoritas formal beserta peraturan yang dibuat. Ini bisa dimanifestasikan dengan tidak dipilihnya individu dan atau partai politik yang gagal mengemban aspirasi warga negara untuk yang kedua kali. Dalam kesempatan yang sama, kegiatan ini memberikan apresiasi atau penghargaan bagi mereka yang aspiratif dan kooperatif bukan hanya kepada massa pendukungnya melainkan juga kelompok lawannya yang beroposisi[4]. Namun, hal ini hanya berlaku dalam kegiatan pemilihan secara bebas (free election) dan bertanggung jawab dengan munculnya pilihan yang rasional dan memiliki argumentasi yang melatarbelakanginya.

Kegiatan pemilihan mensyaratkan operasionalisasinya dijalankan oleh lembaga administrasi yang khusus dengan menempatkan rakyat sebagai sentral pelayanan (people centered) mereka, sebagaimana yang diberlakukan terhadap birokrasi publik, dengan menyeimbangkan tuntutan kebanyakan masyarakat dan hak-hak individu sekaligus mendahulukan kepentingan publik daripada fungsi-fungsi pemerintahan lainnya.

Tuntutan untuk bekerja secara profesional dengan paradigma people centered ini mengantarkan lembaga penyelenggara kegiatan pemilihan pada tuntutan lain, yakni kemandirian dan ketidakberpihakan selaku faktor kritis utama dalam setiap kegiatan pemilihan, bahkan ia turut mempengaruhi kredibilitas kegiatan pemilihan sekaligus kredibilitas lokal dan nasional secara keseluruhan[5]. Kemandirian (independensi) memiliki modal utama berupa kejelasan identitas kelembagaan beserta tujuan dan tugas-tugas strategis yang harus dikerjakan sehingga suatu lembaga memiliki sejumlah koridor sebagai bahan kontrol dan antisipasi dari segenap potensi penyimpangan. Kejelasan tujuan dan tugas strategis juga mempermudah dirinya dalam menyusun prioritas kerja secara mandiri[6]. Jadi, independensi amat berkenaan dengan kemampuannya untuk menjalankan tugasnya sendiri dan memenuhi kebutuhan dirinya (self-sufficiency) secara mandiri tanpa memiliki ketergantungan yang sangat kepada pihak lain. Bila landasan kontrol dalam prosedur yang dimiliki suatu lembaga tadi masuk dalam kategori independensi konstitusional, aktivitas dijalankannya tugas suatu lembaga dengan tidak tergantung pada pihak lain berdasarkan prioritas kerja dan pengorganisasiannya secara mandiri menjadi warna independensi institusional.

Agak berbeda dengan kemandirian, baik dalam kategorium independensi konstitusional dan independensi institusional, ketidakberpihakan (netralitas) merupakan keseimbangan dalam perwakilan serangkaian pandangan dan tindakan di antara berbagai pihak[7]. Hal ini ditunjukkan dengan keseimbangan sikap terhadap pihak-pihak terkait dan menyangkut prioritas kerja, berdasarkan apa prioritas itu ditetapkan. Makna politis dari suatu netralitas terdapat dalam tindak tanduk individu (personal) yang menggerakkan lembaga tempat ia beraktivitas dengan segala kemandirian, berupa keseimbangan preferensi tadi, yang bisa diupayakan. Perkembangan pada titik klimaks suatu kondisi yang tidak netral adalah diberikannya dukungan hingga derajat loyalitas secara penuh kepada pihak-pihak tertentu[8].

Baik kemandirian dan ketidakberpihakan memiliki satu kata kunci: “pengaruh”. “Pengaruh” pada gilirannya akan mendapatkan manifestasi secara nyata dalam hubungan suatu lembaga dengan pihak lain untuk selanjutnya mengalami pembakuan melalui proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan menurut derajat kemandirian dan ketidakberpihakannya terbagi atas dua skala. Pertama, skala yang memperlihatkan pengaruh keputusan masa lampau dan kemungkinan yang terjadi di masa depan terhadap suatu keputusan yang akan diambil. Kedua, skala yang memperlihatkan pengaruh pihak lain dalam suatu pengambilan keputusan[9]. Independensi dalam pengambilan keputusan biasanya terdapat dalam pengambilan keputusan untuk hal-hal operasional dengan variabel-variabel tak terkontrolnya sedikit sehingga mudah diprediksikan. Dengan kondisi seperti ini, pengambilan keputusan cukup ditangani oleh satu pihak yang memiliki otonomi penuh. Sebaliknya, dependensi terlihat dalam pengambilan keputusan untuk hal-hal strategis karena menyangkut banyak pihak. Dengan demikian, variabel tak terkontrol akan semakin banyak dan masa depan keputusan tersebut menjadi sulit diprediksikan. Dengan kondisi seperti itu, hal-hal strategis biasa diputuskan oleh banyak pihak yang berkepentingan dan hal ini akan menurunkan derajat independensi[10].

Mekanisme pengawasan memiliki peran untuk memastikan bahwa penyelenggaraan kegiatan pemilihan berlangsung tanpa bias dan penyimpangan prosedural. Pengawasan yang dilekatkan terhadap lembaga penyelenggara ini menggunakan mekanisme yang variatif. Sebagian praktek di beberapa negara, fungsi pengawasan secara legal-formal dilakukan oleh parlemen, sebuah komite tertentu yang dibentuk oleh parlemen atau council, menteri tertentu dalam pemerintahan, atau lembaga peradilan.

Pendekatan mandiri menempatkan lembaga ini bersifat independen dan tidak menjadi bagian dari pemerintah secara integral dan formal. Namun, terdapat variasi dalam impelementasi pendekatan ini. Sebagian lembaga penyelenggara menggunakan infrastrukturnya sendiri di tingkat nasional, regional, dan lokal. Sebagian lagi menggunakan sumber daya dari pemerintahan di tingkat lokal dan regional.

Penggunaan infrastruktur dan sumber daya sendiri lebih menjamin independensi lembaga penyelenggara meskipun membutuhkan kematangan dan pola seleksi fit and proper test yang ketat terhadap masyarakat sipil yang berminat berkontribusi di bawah naungan lembaga penyelenggara itu. Hal ini sebenarnya tak begitu dipersoalkan. Yang dipersoalkan adalah kemampuan lembaga ini menampilkan kinerja yang memuaskan ketika ia tidak disokong oleh sumber daya manusia dari pemerintah.

Memperhitungkan sejumlah karakteristik yang harus dipenuhi oleh lembaga penyelenggara kegiatan pemilihan, akuntabilitas dan transparansi lagi-lagi menjadi harga mati sebuah kegiatan pemilihan itu. Akuntabilitas dan transparansi tidak hanya menyodorkan takaran harga kinerja lembaga penyelenggara tetapi juga menjadi cermin tingkat independensinya. Pun suatu lembaga penyelenggara kegiatan pemilihan berupaya membuktikan diri mereka telah bersikap netral dan bertindak independen, apa yang dilakukan sebenarnya tidak lebih dari sebuah hubungan antarorganisasi (interorganizational network) dengan lembaga lain, seperti birokrasi, unit lain dalam pemerintahan, organisasi nirlaba, dan organisasi profit-oriented.

Hubungan seperti itu rentan mereduksi tingkat independensi lembaga penyelenggara kegiatan pemilihan, kecuali tiga persyaratan kunci berikut terpenuhi. Pertama, setiap organisasi yang saling berhubungan memiliki pembagian tugas dan kerangka kerja yang jelas sehingga mereka hanya bertindak dan bersikap menurut batasan koridor pekerjaannya itu. Kedua, interaksi di antara organisasi tersebut harus memiliki sumber daya yang berbeda secara politik dan ekonomi. Ketiga, hubungan antarorganisasi memenuhi format hubungan yang setara dan berimbang, tidak membentuk hubungan hirarkis dengan dikotomi atas-bawah atau relasi superior-inferior. Konsensus menjadi hal utama yang menjadikan tiga persyaratan kunci tadi berjalan sehingga menghasilkan independensi dan akuntabilitas sekaligus[11]. Selain itu, konsensus mendorong terciptanya solidaritas dan bobot otoritas secara moral yang memadai sehingga secara esensial akan memunculkan sifat mengikat[12] antara pihak-pihak terkait. Yang terakhir inilah yang melahirkan stabilitas di tengah perubahan lingkungan beserta turbulensi yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Sifat mengikat dari konsensus yang melahirkan stabilitas tersebut hanya dapat dijalankan bila konsensus tadi dituangkan dalam formatnya yang formal dan diimplementasikan secara terstruktur dan sistemik[13] sehingga tidak mudah goyah ketika timbul tindakan indisipliner sebagian pihak yang terlibat dalam konsensus tersebut. Efek domino yang potensial terjadi adalah penguatan independensi kinerja suatu lembaga.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Independensi KPUD Kota Depok
Deskripsi independen atau tidaknya KPUD Kota Depok tidak bisa dengan simplifikasi persoalan berdasarkan indikasi-indikasi yang ditemukan di lapangan. Independensi dengan sendirinya terdapat dalam setiap tahapan pilkadasung menurut garis kontinum hingga penyelenggaraan pilkadasung itu usai. Oleh karena itu, deskripsi independensi KPUD Kota Depok hanya dapat dilaksanakan menurut masing-masing tahapan penyelenggaraan pilkadasung. Diversifikasi independensi KPUD diperlukan agar simplifikasi persoalan tidak terjadi. Dalam satu tahapan penyelenggaraan pilkadasung, terdapat fenomena independensi yang terbagi menjadi tiga spektrum atau bidang yang jalin-berkelindan: independensi konstitusional, independensi institusional, dan independensi personal.

Independensi konstitusional merupakan kemandirian suatu organisasi publik yang keberlakuannya berkenaan dengan struktur peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengatur keberadaan, status kelembagaan, hak, kewajiban, serta kewenangan organisasi publik yang bersangkutan dalam hubungannya dengan pihak lain menurut ranah aktivitas yang melingkupinya. Berpijak pada pengertian ini, independensi konstitusional KPUD Kota Depok meliputi persoalan hukum dan peraturan perundang-undangan mengenai pilkadasung dalam hubungannya dengan pihak lain yang terlibat penyelenggaraan pilkadasung tersebut, yakni Sekretariat KPUD, PPK, PPS, KPPS, Pemerintah Daerah, DPRD, Panwasda, para pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota beserta tim kampanye dari partai politik pengusung masing-masing, lembaga pemantau, elemen-elemen masyarakat yang berkepentingan dengan pilkadasung (interest group), tak ketinggalan KPU, Desk Pilkada, Pemerintah Pusat, pers, lembaga peradilan, dan masyarakat Kota Depok pada umumnya.

Hal yang utama menjadi sorotan secara lebih spesifik dalam struktur peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pilkadasung adalah kelengkapan sistematika dan unsur intraperaturan yang tercermin dari banyak-sedikitnya celah hukum yang ada, kesesuaian peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan lain menurut garis hubungan horizontal dan vertikal sistematika antarperaturan perundang-undangan dalam domain pengaturan tentang pilkadasung, serta suasana perumusan dan pengesahan peraturan perundang-undangan tersebut.

Independensi institusional merupakan kemandirian organisasi publik yang keberlakuannya berkenaan dengan keseluruhan tindakan administratif organisasi publik tersebut sebagai suatu lembaga dengan segenap aktivitas manajerial di dalamnya menurut hubungannya dengan pihak lain berdasarkan hak, kewajiban, dan kewenangan masing-masing. Bertolak dari pengertian ini, mandiri atau tidak KPUD Kota Depok dalam menyelenggarakan pilkadasung bertolak dari kapasitas organisasi yang dimilikinya dalam berinteraksi atau menjalin hubungan dengan organisasi (baca: pihak) lain yang berkepentingan (interorganizational relation) dan terlibat dalam penyelenggaraan pilkadasung. Karena setiap aktivitas baru bisa eksis dan setiap interaksi baru bisa dijalankan bila sudah terdapat keputusan yang dibuat, pengambilan keputusan oleh KPUD Kota Depok menjadi elemen utama keberlakuan independensi institusional dalam penyelenggaraan pilkadasung.

Keberlakuan independensi institusional KPUD Kota Depok nantinya akan tersebar dalam pelbagai dimensi aktivitas dalam ruang lingkup kegiatan penyelenggaraan pilkadasung yang kemandiriannya sendiri terdiversifikasi dalam empat hal, yakni kemandirian perencanaan, kemandirian finansial, kemandirian sumber daya manusia, serta kemandirian sarana dan prasarana. Tidak berhenti sampai di sini, empat hal kemandirian ini pun mengandung hal-hal subordinat dan atau lanjutan yang menjadi pengembangannya. Perencanaan yang dibuat akan dilanjutkan dengan pengorganisasian hingga kontrol dan evaluasi. Kemandirian finansial terdiri atas perolehan dana, penyusunan anggaran, mekanisme pembiayaan atau pencairan dana, hingga laporan keuangan yang dibuat beserta pelaporannya. Kemandirian sumber daya manusia meliputi mekanisme rekrutmen, penyusunan deskripsi kerja, penilaian kinerja, jenjang karir, pemberian imbalan dan sanksi, hingga mekanisme pemecatan atau pemensiunan. Kemandirian sarana dan prasarana pun meliputi mekanisne penyediaan dan sumber perolehan sarana dan prasarana, distribusi, serta penggunaannya di lapangan.

Independensi personal merupakan kemandirian individu-individu yang terdapat dalam organisasi publik yang tercermin dalam sikap, tingkah laku, dan tindakan personal. Persoalan individual semacam ini sebenarnya hampir sama dengan karakteristik independensi institusional. Namun, pada tataran personal dalam tubuh KPUD Kota Depok, hubungan antarpihak dan pengambilan keputusan yang dibuat oleh individu tertentu, baik anggota KPUD Kota Depok maupun pegawai sekretariatnya, tidak sekadar bagaimana sikap, tingkah laku, dan tindakan, yang ditampilkan tetapi kecenderungan (preferensi) pribadi yang melatarbelakanginya.

Adanya kecenderungan yang berujung keberpihakan dan dukungan yang diberikan, baik implisit maupun eksplisit, terhadap salah satu pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Depok menunjukkan kemandirian tersendiri bagi individu yang bersangkutan di tengah tuntutan obyektivitas dalam melakukan penilaian terhadap pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota juga profesionalisme dalam melakukan segenap aktivitas yang telah menjadi tugasnya di KPUD Kota Depok. Beranjak dari pengertian ini, independensi personal merujuk pada netralitas individual yang lebih dominan masuk dalam domain politik dibandingkan administrasi.

Di antara ketiga bidang independensi di atas, independensi institusional menjadi yang paling mencerminkan deskripsi independensi KPUD Kota Depok karena implementasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pilkadasung beserta hal-hal terkait dan kecenderungan anggota KPUD Kota Depok serta pegawai sekretariatnya termanifestasi dalam ranah kelembagaan KPUD Kota Depok sebagai organisasi publik. Namun, pada kenyataannya, dimensi-dimensi dalam independensi konstitusional, independensi institusional, dan independensi personal, akan bersaling-silang secara hybrid sehingga tak dapat dipisahkan meski tetap dapat dibedakan. Dengan ketiadaan simplifikasi persoalan dan eksisnya diversifikasi spektrum persoalan tadi, deskripsi keberlakuan independensi KPUD Kota Depok dalam penyelenggaraan pilkadasung sulit untuk digeneralisasi.

Penutup
Sebagi penutup dari tulisan ini dapat simpulkan bahwa independensi bisa dipetakan dalam tiga spektrum/ bidang: independensi konstitusional, independensi institusional, dan independensi personal, yang ketiganya bersaling-silang secara hybrid dalam suatu tahap penyelenggaran pilkadasung. Independensi personal cenderung politis dan lebih dikenal dengan istilah netralitas.

Secara bersama-sama, potensi keberlakuan indepedensi institusional dan independensi konstitusional terdapat pada tahap pencalonan, legitimasi pemantau, penghitungan suara beserta penetapan hasilnya, dan penyelesaian sengketa pilkadasung. Keberlakuan independensi institusional tanpa diiringi independensi konstitusional terdapat pada tahap kegiatan kampanye, termasuk auditing dana kampanye di dalamnya. Dengan demikian, potensi tergerusnya keberlakuan kedua independensi tersebut terdapat pada tahapan penyelenggaraan pilkadasung selain yang telah disebutkan tadi, bahkan potensi tereduksinya keberlakuan independensi personal hampir secara tersebar terjadi di semua tahapan, dan ini menjangkiti sebagian pegawai sekretariat Kota Depok, serta petugas PPS dan KPPS.

Daftar Kepustakaan
Al Qahthani, Muhammad bin Sa’id. Al Wala wal Bara’: Loyalitas dan Antiloyalitas dalam Islam. Surakarta: Era Intermedia, 2000.

Catt, Helena. Democracy in Practice. London: Routledge, 1999.

Cooke, Steve, dan Nigel Slack. Making Management Decisions. Hertfordshire: Prentice Hall International (UK) Ltd, 1991.

Gormley, William T., dan Steven J. Balla. Bureaucracy and Democracy: Accountability and Performance. Washington D.C.: CQ Press, 2004.

Harris, Peter, dan Ben Reilly, ed. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. Jakarta: International IDEA, 2000.

Hasibuan, Imran, ed., Bersikap Independen!: Pedoman Meliput Pemilu di Masa Demokrasi Transisi, (Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 1999.

Leach, Steve, John Stewart, dan Kieron Walsh. The Changing Organization and Management of Local Government. London: Macmillan Press, 1994.

Mayer, Lawyer C., John H. Burnetts, dan Suzanne Ogdan. Comparative Politics: Nations and Theories in a Changing World. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1993.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005.

http://www.kpu.go.id/, “Mahkamah Konstitusi Mengabulkan Sebagian Gugatan: KPUD Bertanggung Jawab kepada Publik dan Pilkada bukan Pemilihan Umum”, Edisi 30 Maret 2005.

http://www.media-indonesia.com/, “Pilkada (Tetap) Bukan Pemilu”, Edisi 23 Maret 2005.
[1] Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materiil hanya atas keempat pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang menegaskan pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD, yakni pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD (Pasal 57 ayat 1); tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah (ayat 3) meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD (Pasal 66 ayat 3 huruf e); KPUD berkewajiban (ayat 1): mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD (Pasal 67 ayat 1 huruf e), dan pasangan calon dan/atau tim kampanye, yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD (Pasal 82 ayat 2). Lihat http://www.surya.co.id/.
[2] Perpu No. 3 Tahun 2005 dan PP No. 17 Tahun 2005 memang telah diterbitkan pemerintah demi menambal loopholes akibat ujimateriil MK terhadap UU No. 32 Tahun 2004. Namun, meski keduanya mengatur syarat pencalonan kepala daerah, persyaratan pemilih di tiap TPS, dan tata cara penundaan pelaksanaan pilkada, kedua peraturan ini masih belum jelas mengatur pertanggungjawaban KPUD sehingga pemerintah akan menerbitkan fatwa mengenai hal tersebut. Lihat Koran Tempo, 3 Mei 2005, hlm. 15.
[3] Lihat “Mahkamah Konstitusi Mengabulkan Sebagian Gugatan: KPUD Bertanggung Jawab kepada Publik dan Pilkada bukan Pemilihan Umum” dalam http://www.kpu.go.id/ dan “Pilkada (Tetap) Bukan Pemilu” dalam http://www.media-indonesia.com/.
[4] Tindakan politis yang mengayomi lawan politik secara moderat dan akomodatif teramat cocok sebagai salah satu langkah utama memperkecil potensi chaos antarsegmen dalam masyarakat yang rentan untuk terpecah belah, di samping dua langkah rekayasa konstitusional lainnya, yakni kesalingterbukaan dan proporsionalitas. Lihat Peter Harris dan Ben Reilly, ed., Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan bagi Negosiator, (Jakarta: International IDEA, 2000), hlm 194.
[5] Ibid, hlm. 312 dan 314.
[6] Steve Leach, John Stewart, dan Kieron Walsh., The Changing Organization and Management of Local Government., (London: Macmillan Press, 1994), hlm. 87.
[7] Imran Hasibuan, ed., Bersikap Independen!: Pedoman Meliput Pemilu di Masa Demokrasi Transisi, (Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 1999), hlm. 41.
[8] Lihat Muhammad bin Sa’id al Qahthani, Al Wala wal Bara’: Loyalitas dan Antiloyalitas dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, 2000), hlm. 94.
[9] Lihat Steve Cooke dan Nigel Slack, Making Management Decisions, (Hertfordshire: Prentice Hall International (UK) Ltd, 1991), hlm. 21 dan 25.
[10] Ibid, hlm. 27. Lihat Figure 1.6. “The Effect of The Type of Decision on Its Elements”
[11] Lihat penjelasan tesis ini dalam William T. Gormley dan Steven J. Balla, Bureaucracy and Democracy: Accountability and Performance, (Washington D.C.: CQ Press, 2004), hlm. 145.
[12] Lihat uraian pembentuk tesis ini dalam Helena Catt, Democracy in Practice, (London: Routledge, 1999), hlm. 51. Namun, perlu diberi catatan bahwa konsensus sendiri bisa problematik ketika pihak-pihak yang tak sepakat dengan konsensus tersebut memilih sikap diam akibat tekanan tertentu yang menimpa mereka. Hal ini sama dengan mengaktifkan bom waktu yang sewaktu-waktu meledak bila menemui lingkungan dan keadaan yang kondusif dan provokatif. Konsensus demikian menjadi rusak, ditambah dengan tindakan indisipliner sebagian pihak yang terlibat.
[13] Stabilitas sendiri diterjemahkan sebagai controlling change within the confines of existing structure. Lihat Lawyer C. Mayer, John H. Burnetts, dan Suzanne Ogdan, Comparative Politics: Nations and Theories in a Changing World, (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1993), hlm. 65.

Lampiran


This page is powered by Blogger. Isn't yours?